Perempuan di Taman Kota

Malam itu memberi ruang lebih buat mu yang sudah kesekian kali menunggu. Untuk kembali menghafal setiap lekukan wajah yang sudah beberapa tahun ini tidak lagi berani kau rengkuh. Cukup sekali saja berteman dalam bayangan yang enggan pernah berkecukupan mengusir rasa rindu yang katamu itu sangat begitu menyesakkan.
Angin malam yang berhembus, tak pernah mau mengerti betapa kamu berharap sosok itu kembali duduk disebelahmu. Di atas kursi kayu yang warnanya masih tetap sama seperti dua tahun silam, hanya sedikit terlihat tua karena selalu bersapa dengan cuaca dingin yang menggigil dikala malam dan panas yang menyengat dikala kemarau. Kamu berkhayal, sekarangpun sosok itu masih ada sebelahmu. Membalik-balikkan buku komiknya dengan sesekali melirikmu, nakal. Saat kamu masih belia dan masih berseragam putih abu-abu. Rambutmu masih pendek, dan mengenakan pita merah muda di atas kepala, cantik sekali kamu saat itu. Sekarang kamu duduk sendiri, di malam yang seharusnya berselimut dengan kain tebal. Tidak seharusnya seorang gadis cantik dibiarkan menunggu selama itu apalagi di waktu malam.

sesekali kamu berusaha tersenyum. Kamu mempercayai kata-katanya yang padahal mungkin saja itu hanya bualan semata. Mungkin itu caramu untuk bertahan di antara usapan angin yang memaksamu untuk kembali pulang.
Kembali sendiri dan tak perlu menunggu lagi. Ternyata kamu terlalu hafal dengan sosok disebelahmu dua tahun lalu. Tawanya yang renyah setiap kali berhasil membuatmu jengkel. Mukanya yang memelas, membujuk untuk menemaninya nonton bioskop. Bahkan kamu berkorban banyak. Kamu tidak pernah menyukai film action, kamu lebih menyukai film romantic  yang mendayu-dayu. Tapi saat itu, kamu rela menonton film yang full action, film bersimbah darah hanya demi sosok itu. Sosok yang sekarang tega meninggalkanmu sekonyong-konyongnya, tanpa pamit, tanpa janji manis, tanpa pesan, tanpa berita. 

Semuanya seperti tidak pernah ada. Tapi kamu memang bukan pecundang. Saat sosok itu menghilang, kamu tetap menunggunya. Di tempat yang dulu selalu dijadikan saksi kebersamaan. Memang nyata. Tawanya, tangisnya, genggaman tangannya yang agak sedikit malu-malu, wajahnya yang memerah. Kamu hafal betul tentangnya. Tapi dia menghilang begitu kejam, tak mau mengertikah kamu dengan itu ?
Taman kota yang mulai menyepi. Hingga yang tersisa tinggal kamu, juga daun-daun kering yang berguguran. Pagar besi yang memucat juga kamu yang mulai menggigil disapa angin malam. Terpejam, kamu masih berdoa, tetap berharap dan masih dalam bahasa yang sama “pertemuan yang entah mungkin hanya jadi harapan kosong”.
Katanya, “terpenjara yang tidak akan pernah dia lupakan adalah saat kita bertatap. Masuk kedalam lautan biru, menari-nari bersama, menangis dalam Kristal yang tak pernah mengusam; saling berpeluk. Itu indah. Saat jatuh cinta padamu itulah jeruji yang tidak ingin dia tanggalkan”.  kata sosok itu dua tahun lalu. Tapi semua tinggal prakata saja. Buktinya saja, lihatlah kamu sekarang. Menunggu sendiri, sepi, tiada yang peduli.

Kamu lelah. Setalah seharian mengerjakan tumpukan-tumpukan berkas yang harus di revisi, dan di malam tiba kamu masih harus bekerja. Dengan otakmu, dengan ingatanmu, dengan sedikit tenagamu yang tersisa. Menunggu. Sungguh sangat mengesalkan. Tapi rupanya kamu terlalu buta untuk menyadari betapa menyebalkannya menunggu. Kamu terlalu buta untuk menyadari itu. Hingga kamu selalu menikmati setiap detiknya duduk disini, di tempat ini.

waktu bergeming meninggalkan seperempat malam di awal. sosok itu tak lagi terlihat. Mungkin belum lagi terlihat. Itu inginnya kamu. Kamu mempercayai hal bodoh tentang dia. Dia yang tiada pernah memberimu kejelasan. Dia yang mencekikmu dalam gantungan masalalu yang selalu kamu banggakan. Sudahlah, malam berlalu dan kamu harus kembali keperaduan (lagi) dan masih tanpanya.

Wacana di Waktu Fajar

Kali ini, aku sedang bahagia. Sepertinya kamu akan lebih faham. Aku bisa tertawa sendiri, menangis sendiri, jika kamu mulai lagi menari-nari di ingatan. Sedikit geli jika lagi dan lagi aku bercerita tentang kamu. Sedikit gombal jika terus dan terus aku bicara tentang rasa yang tak pernah enggan untuk engkau sapa. Ah, terlalu gila rasanya. Tapi memang ini nyata, lebih sekedar dari rasa sementara.

Mungkin, dalam detiknya aku bisa lupa. Tapi di menit kemudian aku kembali lagi. Pernah beberapa saat tertunda. Terselingi beberapa kisah lain yang tak pernah bisa benar-benar meng-enyahkan kita di kata dulu. Rasanya segalanya tak pernah berakhir, rasanya segalanya masih dalam lingkaran yang tak pernah berujung. Tapi semua hanya cukup rasanya dan sekedar aku saja yang rasa.

Di kali ini, waktu fajar. Setelah malam yang aku habiskan dengan mengunggah ingatan lalu. Dan baru selesai di fajar ini, diantara batasan malam dan pagi. Mengingatmu itu seperti mentari yang memberi rasa hangat yang luar biasa. Tapi juga ada bagian malam yang dingin beku saat aku mulai sadar itu telah jauh tiada.

Masihkah kamu tertarik dengan rasa yang tak pernah berani untuk kita rengkuh ? bukankah kamu sudah cukup waktu untuk berfikir, mencerna, kata yang katanya itu bukan sekedar kata sementara ?

tapi ternyata diam kamu itu memang sudah mendarahdaging. Ya, itulah kamu. Kamu yang selalu jadi Kamu dalam setiap ceritaku. Kamu yang selalu jadi mindset setiap bait hari-hariku. Kamu yang selalu jadi rindu. Kamu yang selalu jadi candu, Kamu yang cukup aku kenal dan selalu aku mengerti sendiri dalam malam. Dan ketika fajar datang, Kamu berakhir seperti mimpi malam yang selalu ingin aku ulang-putar ulang-lagi-lagi-dan lagi di setiap waktu tidurku.

Aku bisa cekikikan sendiri menyadari setiap wacana yang aku susun dengan rapih dan segalanya tetap dengan satu topik sama. Pernah sekali-kali, ah bukan sekali-kali, sudah sering aku berganti topic. Mencoba membuat skema yang lain, berandai-andai dengan mimpi yang lain, tapi tak seindah wacana yang aku rangkai dengan topik kamu. Bodoh sekali ya. Tapi tidak untuk setiap manusia yang sedang menikmati bahtera yang kata nya cinta. Tapi ini juga terlalu berlebihan jika aku menyebutnya bahtera. Bukankah bahtera itu tersusun dari komponen yang nyata ? tidak abstrak ? terlalu sekonyong-konyong aku menyebutnya bahtera jika yang ditemui hanya aku yang terus saja memelihara, mengutik yang lalu.
waktu fajar ini, benar-benar membawaku dalam satu kabut. Menyudutkan. Lalu menghempas. Aku sadar, dan kembali lagi aku tersadar. Ini sekedar waktu yang diberikan untuk mengingat, bernostalgia begitu kata setiap para remaja.

Sudahlah tak baik berlama-lama dengan yang lalu-lalu. Seindah-indahnya itu tepat punya waktu yang berbeda. Dulu dan sekarang memang punya dua sekat yang berlainan. Tapi ku harap tidak dengan hatimu. Sedemikian lah Fajar ini aku lalui dengan mengunduh kamu, merenggutmu paksa masuk dalam imajinasiku. Di waktu fajar ini, dan akan berakhir saat mentari mulai memintaku kembali. Kembali pada waktu sekarang yang sebenarnya masih ingin kusertakan namamu dengan pantas dan jelas.

Klik Sumber Gambar