Wake-up !

Saya Fikir jika berjalan lurus terus nanti juga nemuin cahaya, dari pada belok dan tau-taunya malah mentok. Tapi setelah berjalan terus, cahaya itu masih belum Nampak. Atau bahkan tak kan pernah Nampak. Saya kira, memang perlu berbelok atau banting stir. Saya benar-benar tersesat.

 *
             Setelah melewati sepanjang minggu dengan nonton korea. Duduk di depan tv, makan, dan tidur. Saya kira hari senin akan jauh lebih baik. Begitukah ? saya suka sekali menonton drama korea. Bukankah dengan melakukkan apa yang kita sukai bisa menjadi moodboster ? tapi kali ini, saya gagal. Menonton serial drama korea tak cukup. Senin ini masih kurang bergairah.

             Mungkin weekand nanti, saya akan mencoba datang ketempat spa dan relaxation. Saya benar-benar butuh penyegaran. Semuanya benar-benar menyedot pikiran saya. semua aura negative benar-benar ada dalam diri saya. saya butuh penyegaran. Benar-benar butuh penyegaran.

             Kali ini mungkin yang benar-benar namanya “hidup tapi seperti tak hidup”. Dari bulan-bulan ini, mungkin teman terdekat saya merasa sulit menghubungi saya begitupun keluarga. Entah, saya tidak sedang menghindar dari siapapun. Tapi saya sedang asyik dengan melamun. Saya selalu asyik sendiri. Entahlah saya siapa ? saya lupa bagaimana diri saya sebenarnya. Seperti apa saya ? saya lupa !


              Rupanya saya benar-benar akan kehilangan semuanya jika terus seperti ini. sebelum itu terjadi, saya benar-benar butuh pembangkit mood yang berkekuatan extra. Entah bagaimanapun. Entah dengan teriak di karaoke, menjalani long trip, atau menghabiskan sepanjang hari dengan pijatan ringan di salon. Whatever, I must wake-up.

Klik Sumber gambar

Random; ampas kopi !

Klik Sumber Gambar
             Seandainya tiga tahun lalu saya menolak, mungkin bukan seperti ini, persoalannya tidak sepelik ini, tidak serumit ini. Seandainya saya mendengarkan apa kata orang tua saya, untuk tetap tinggal di Cilegon, mencari sekolah disana dan bekerja disana, mungkin semua gak akan seperti ini. tiga tahun. Sudah tiga tahun rupanya saya tinggal di Jakarta. Bersatu dengan beribu-ribu orang dari berbagai suku bangsa. Saat itu usia saya masih 18 tahun, saat saya menginjakkan kaki di Jakarta. Dulu sewaktu kecil, sekalipun saya sering berkunjung ke Jakarta tidak ada sedikitpun impian untuk tinggal lama di kota besar ini. dulu saya lebih ingin kembali ke Cilegon, Banten. Kota kelahiran mamah. Saya lebih ingin tinggal di desa Cakar, tepat di kaki gunung (saya lupa namanya). Disitu mamah masih punya hak rumah dari orangtuanya yang sekarang ditempati oleh wa emus (saudara laki-laki mamah). Sebelumnya saya ingin kembali kesana, setidaknya disana lebih damai dari pada di Majalengka apalagi di Jakarta. Disana wa emus juga mendirikan pondok ngaji untuk anak-anak sampai dewasa. Suasana yang masih jauh dari perkotaan. Angkutan umum yang masih jarang dan samasekali tidak ada yang beroperasi di waktu malam. Orang-orang disana sopan, dan tentunya sangat taat beragama. Benar-benar suasana yang menyuguhkan ketenangan bathin. Tapi saat hari kedua saya menginjakkan kaki disana, memutuskan untuk menghabiskan liburan pascah ujian sambil mencari lowongan dan sekolah yang lebih lanjut, kabar itu datang. Di mulai dari malam itu, malam di mana tante saya yang di Jakarta menawarkan pekerjaan di tempat suaminya. Malam itu, saya memutuskan untuk hidup di Jakarta.

               Lucu. Saya keluar dari rumah dengan tujuan berlibur di Banten akhirnya hanya bisa berlibur empat hari saja. Setelah itu saya langsung berangkat ke Jakarta, tanpa kembali ke Majalengka. Hari pertama saya di Jakarta, saya masih riang. Jujur, saya terpikat dengan gedung-gedung pencakar langit yang dibangun bagi mereka yang siap mewujudkan mimpinya sampai ke atas langit. Saya terpikat dengan segala macam tempat yang belum pernah saya sambangi (maklum anak kampung masuk kota). Keadaan berlanjut. Hari terus berganti. Berbagai masalah mulai datang. Pilihan-pilihan besar mulai berdatangan. Konsekuensi pahit mulai merengkuh berniat mendewasakan. Sejak saya keluar dari rumah, sejak itu pula saya mantapkan. Dimanapun saya nanti akan tinggal, seberat apapun hidup saya di luar sana, saya akan kembali ke rumah hanya dengan kabar bahagia. Inilah resiko dari si anak rantau yang mencoba berani. Berusaha menembus terik sekalipun tanpa alas kaki.
               Ya, sudah tiga tahun berlalu saya di Jakarta, sekaligus sudah mau genap tiga tahun saya bekerja di Sini. Suka, duka, pahit, getirnya sudah saya rasa. Pulang sore sampai pulang malam sudah saya sambangi. Berangkat terbit sampai pulang saat kelelawar keluar kandang sudah saya lakoni. Di injak, di judge, di khianati, sudah pula saya lewati. Disini, di Jakarta. Memang Jakarta kota yang kejam. Dan mungkin ini bulan-bulan paling menyedihkan bagi saya di kota ini. tidak ada satu alasanpun untuk mempertahankan toh smua benar-benar sudah sirna sampai sempat saya berfikir mati. Tapi tidak. Tiga bulan perbandingan dengan tiga tahun, saya harap kesabaran saya masih tersisa. Di banding dengan tiga tahun itu, sungguh tiga bulan sudah tidak ada arti. Setelah tiga bulan itu, saya akan benar-benar menjadi saya. saya yang mau melangkah kemanapun sesuka hati saya. yang bisa memilih apapun. Dan tentunya bisa mencari jalan bahagianya sendiri. Tak peduli lagi apa kata orang. Yang tertinggal hanya tinggal kata hati saya sendiri.
               Saya harap waktu bisa bergerak lebih cepat dari biasanya. Menjemput harapan yang terbenam dalam. saya harap masih bisa menemukan alasan untuk tersenyum setelah pahit mendidik. Sudah cukup. Saya rindu tiga tahun lalu, masa bahagia saya sebelum ini. sebelum saya menginjakkan kaki di Jakarta. Sebelum saya memutuskan untuk keluar dari rumah, sebelum saya memutuskan untuk menutupi semuanya dari mamah.
 Saya masih ingat dengan tiga tahun sebelum ini. Saat itu saya masih masih duduk di bangku SMA. Sungguh tahun-tahun yang sangat indah. Punya sahabat yang selalu membuat saya tersenyum di sekolah. Dan punya tempat pulang terhangat di rumah yaitu sebuah keluarga. Masa SMA itu masa yang penuh kebodohan. Namun karena kebodohan itu juga  yang menjemput kebahagiaan yang tanpa alasan. Hari ke hari berjalan begitu cepat. Di sekolah, maupun di rumah, keduanya sama-sama syurga. Syurga bagi setiap manusia adalah selalu berada dekat dengan mereka yang menyayangi kita tanpa alasan. Mereka yang siap membuat kita tertawa, dan menyeka setiap air mata. Masa-masa itu, masa-masa yang tidak pernah ada gurat kesedihan. Selalu tertawa, riang. Tidak peduli dengan masalah, semua biarlah berjalan sebagai bumbu. Hanya sebagai bumbu. Tapi waktu memang selalu jadi pembatas atas segalanya. Masa-masa itu juga kini terbatasi oleh kedewasaan yang disertai persoalan-persoalan pelik.

Aah. Lelah rasanya. Sudahlah. Semoga Saya masih punya sisa kekuatan untuk melalui tiga bulan ini. semoga. 


Keep trying to find the right path. Remember that the right path not always on  the right side, but sometimes on the left side. Keep trying and always open your mind, there are a lot of chance and possibilities.

Random; bad time !

Klik sumber gambar
Malam..
Apa kabar ?
Malam ini di kota saya sedang tidak ada bintang, mungkin langit sudah bosan terus saja menerangi malam yang tak pernah seterang siang. Ah, tapi rasanya bukan seperti itu. Mungkin mereka sedang berselisih paham. Hanya untuk malam ini, bintang tak bisa disisinya. Mungkin hanya malam ini. Butuh waktu untuk berpikir tentang kesetiaannya yang kekal. Butuh waktu untuk mencerna setiap kepekatannya yang tak pernah berniat memberi ruang untuk pagi. Tapi takdir mereka indah. Selalu di pertemukan kembali setelah satu malam saling sendirian. Takdir mereka memang menjadi paketan yang tak pernah bisa saling dilepaskan. Setelah habis beberapa malam berselisih atau bahkan kedua-duanya saling menangis, membuncahkan ribuan rintik  anak sungai ke bumi, setelah itu malam berikutnya akan lebih sempurna dengan perdamaian.
Bagaimana dengan kotamu ? 
lebih spesifiknya dengan rumahmu? 

Apa yang sedang kamu lakukkan ? 
Saya masih dengan Komputer hidup di depan. Mempertahankan mata yang harus dan masih perlu terbuka, ini belum waktunya untuk tidur. Terlalu dini untuk tenggelam dalam mimpi yang entah apa. Bagi saya, mimpi itu bukan obat terbaik dalam bagian dunia saya yang sekarang. Bukan terlalu pahit hidup yang sekarang, tapi saya membiarkan waktu menunjukkan arahnya, tentang apapun.
Ini bukan catatan tentang kerinduan seperti berbulan-bulan yang lalu, bukan juga tentang kekecewaan seperti seminggu kemarin, atau ini juga bukan tentang rutinitas saya. entahlah, saya hanya ingin menulis. Dan di awal adalah pembukaan tentang kabarmu. Bukan, saya sama sekali bukan sedang merindukanmu. Apalagi ingin bernostalgia dengan bayanganmu. Tidak, bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin tau kabarmu malam ini, itu saja.
Ceritamu begitu indah. Bahkan lebih indah dari cerita-cerita pendek yang selalu saya ceritakkan padamu. Lebih tepatnya cerita patamorgana yang hanya bersemayam di otak saya.
Hey..
Mungkinkah kamu juga sama sepertiku ? sedang duduk di depan computer sambil menyeruput teh hangat yang asapnya masih mengepul ? setau saya, kamu lebih suka dengan kopi hitam yang pekat. Seperti langit di kota saya malam ini. Kamu juga bukan seorang pencerita yang baik apalagi penyair. Yang pasti kamu mungkin sedang disibukkan dengan game terbaru. coba sudah sampai level berapa kamu ? itu pertanyaan yang lebih lazim untuk seorang sepertimu.
Ah, sudahlah. Ternyata saya terlalu banyak menghabiskan waktu di depan Komputer. Saking pengennya menulis, mengisi blog padahal sama sekali tidak ada ide apapun ya jadinya melangkah mundur kebelakang. Semakin lama, pastinya semakin banyak potongan kejadian yang memaksa ingatan untuk mengunduh ulang. Jadi sebelum itu terjadi, sudah sepatutnya saya menyudahi catatan kali ini.

Selamat malam *sign out sambil nyengir lebar* *jarang-jarang bikin nb kayak gini*

Siang

Siang.
Waktu di tempat saya sedang menunjukkan pukul 12:00 kurang sepuluh menit. Di luar sedang panas-panasnya. Matahari bersinar terlalu bersemangat. Harusnya ini waktu makan siang, tapi saya memilih duduk di depan computer menunggu giliran. Ya, tepatnya karena kurang orang. Jadi saya memilih menunda makan siang dan menggantinya dengan jam makan sore misalnya. Jarang sekali saya menunda jam makan kecuali lain hal kalo lagi puasa ya.

Waktu.  Lucu. Waktu itu memang obat paling mujarab dalam segala hal. Dalam menetralisir segala bentuk perasaan. Rasa benci, suka, sayang, sedih, kecewa, ah semuanya, bisa kita serahkan. Waktu cukup baik untuk menjadi seorang teman. Bercerita misalnya. Meskipun tak jarang waktu tak pernah ingin mengerti sedang dalam posisi apa kita. Waktu. Iya. Waktu memang selalu menjadi obat untuk luka. Menyerahkan pada waktu selalu menjadi alternative terbaik.

Pilihan Besar

klik sumber gambar
Hidup memang tentang pilihan-pilihan besar.

Tidak ada yang gratis untuk sebuah kebahagiaan.

 Semua selalu punya pilihan dan kesempatan.


Itu simpulan percakapan malam ini. Dia berkata tentang perubahan besar masa depan saya. Namun ada bayaran seumur hidup untuk semuanya “balas budi”. Siang tadi saya baru usai menulis note, menceritakan keajaiban, menceritakan janji kebahagiaan. Malam ini setelah mendengar detailnya, saya merubah kata “keajaiban”itu. Sedikit menggesernya beberapa senti dari puncak. Tapi bukan tak benar dengan kekuatan do’a yang dengan semangat saya kibarkan siang tadi. Hanya saja saat itu saya terlalu polos. Tidak ada yg gratis. Itu lebih realistis.


Memang tinggal selangkah lagi. Janji masadepan yang dia janjikan begitu nyata, tidak semu. Hanya saja, dia juga menggamblangkan pengorbanan dan perjuangannya lebih nyata pula. Sebandinglah. 
Dalam percakapan yang berlangsung kira-kira 45 menit itu benar-benar membuat saya terhenyak. Ada buah nyata yang akan saya peroleh jika mengambil kesempatan yang dia berikan. Iya, buah perjuangan selalu manis. Itu memang tak pernah salah. 

Saya menatap kedua orang itu dengan bimbang. Salah satunya keluarga sedarah saya. Yang benar-benar mengerti arti perjuangan. Perempuan berumur 37th yg sudah merasakan pahit, asam, manis, getirnya perjuangan. Dan dia juga sudah meneguk buah manis dari semuanya. Saya terlalu lemah. Dan saya tidak pernah mampu untuk terikat selamanya dengan seseorang, terikat karena kebaikkannya yang Mengharuskan saya menglingkarkan diri saya selalu rapat. Entah, hidup memang tidak pernah menjanjikan kemudahan. Ini keputusan besar. 

Mungkin saya akan menyesal untuk setahun atau 10 tahun kedepan untuk penolakan saya malam ini. Saya memilih menjalani hidup sederhana dengan berbagai pilihan saya. Saya tidak peduli jika akan jatuh karena ulah saya sendiri, setidaknya itu lebih baik. Allah memang selalu memberi jalan, hanya saja kali ini saya benar-benar tak bisa menerima. Okeh, saya yakin setiap pilihan manapun pasti tersimpan keistimewaan sekalipun tidak terlalu menjanjikan. 

Hidup memang selalu tentang pilihan-pilihan berefek.

Banyak definisi kebahagiaan di bumi ini. dan entah kebahagiaan seperti apa yang sebenernya dicari banyak orang termasuk saya. bahagia yang bagaimana ? apakah kebahagiaan tentang kepuasan mendapat apa yang diinginkan ? apakah tentang kepuasan ? atau mungkin ketenangan lahir dan bathin ? atau tentang kelengkapan hidup ? tapi bukankah tidak pernah ada kata kesempurnaan ?

jika sepuluh tahun akan datang saya benar-benar menyesal tentang keputusan ini, sayabiarkan. Setidaknya itu memang pilihan saya. biarlah. Pilihan memang tak melulu tentang kebenaran. Tak melulu juga tentang penghakiman.


KEKUATAN DO’A

03 mei 2014

15:43

Ini keajaiban pertama.

Ini berita kejaiban pertama setelah hampir tiga tahun saya bersabar.

               Tepat hari ini saya mendengar kabar yang sangat-sangat membahagiakan. Ini tentang mimpi saya tiga tahun silam. Tentang doa-doa yang saya panjatkan dalam tiga tahun terakhir. Tidak tepatnya 1 tahun pertama saat saya menginjakkan kaki di Jakarta. Aah, saya tak bisa menjelaskan mimpi seperti apa yang sebentar lagi bisa diwujudkan. Yang saya ingin bagikan disini adalah tentang KEKUATAN DO’A dan KEAJAIBAN DARI SEBUAH KESABARAN.
               Tiga tahun lalu saya punya mimpi besar. Ya cukup besar untuk orang kecil seperti saya. terlalu besar untuk seorang anak yang di lahirkan di tengah keluarga yang sederhana. Sangat-sangat sederhana. Mungkin bagi orang yang berkecukupan mimpi saya, hanya mimpi biasa saja. Bahkan bukan mimpi mungkin jadi sebuah keharusan untuk beberapa golongan diatas kemampuan keluarga saya. tapi saat itu saya memang PEMIMPI.

Saya tidak peduli dengan keadaan yang saya inginkan adalah mimpi saya. apapun dan bagaimanapun caranya, saya harus bisa meraih dan mewujudkannya. Sampai pada satu waktu, satu keadaan yang memojokkan. saya pernah menulis beberapa pengalaman tentang mimpi yang harus saya buang jauh-jauh di catatan sekitaran tahun 2011 blog ini, tentang sebuah pilihan yang sebenarnya bukan kita yang memilih, justru pilihan itu yang memilih kita. Dari ribuan orang didunia, dua pilihan besar yang sama-sama berarti buat saya menghampiri, membuat saya harus jeli dan membedakan mana yang lebih penting. Padahal saat itu, kedua-duanya sangat penting. Tapi bukan pilihan namanya jika tidak ada harus tersingkirkan. Bukan pilihan namanya jika tidak ada perbedaan nomor penting. Itu. Hingga akhirnya saya membuang jauh semuanya. Jangan tanya bagaimana rasanya… saya tidak ingin membahas kekecewaan (lagi).

               Setelah saya focus, dengan berat hati saya mengubur rapat-rapat segala kesempatan tentang mimpi saya. hanya dalam do’a, saya berani bersuara. Tahun pertama, saya masih merasa berat menjalani hidup yang tidak sesuai rencana. Tidak sesuai harapan saya. tapi, bukankah scenario terindah hanya milik Allah ? bukan saya ? ya saya tahu. Dalam ketidakmungkinan, saya masih berdo’a. meminta yang terbaik, meminta kesabaran dan keikhlasan menjalani setiap fase cobaan-Nya. Hingga di tahun kedua, saya sudah cukup memberi ruang pada kekecawaan yang tumbuh liar. Saya mencoba mengikhlaskan. Dan saya mengganti mimpi saya. bukan lagi mimpi di tahun pertama. Mimpi yang lebih simple. Lebih sederhana. Tahun kedua berjalan jauh lebih cepat dari tahun pertama. Rutinitas panjang yang sudah mendarahdaging, rutinitas yang melelahkan sudah benar-benar saya terima. Tanpa beban. Intinya saya berdamai dengan hati saya. Di tahun kedua, saya membuat dreamlist yang lebih sederhana. Lebih focus. Dan tentunya realistis. Masih berdo’a. dalam kesulitan dan serba tidak mungkin itu, Allah selalu memberi kebaikkan-Nya meskipun dengan versi berbeda.
               Menginjak pertengahan tahun kedua, saya sudah benar-benar melupakan mimpi saya di tahun pertama. Tapi benar Allah tidak pernah menyia-nyiakan do’a hambanya. Dia hanya memberi waktu. Memberi test kesabaran. Dan saat ini, saat saya sudah tidak menginginkan mimpi itu. Saat saya sudah benar-benar punya mimpi yang baru. Allah menjawab mimpi pertama saya. Allah menjawab setiap jengkal do’a saya. Allah menjawab setiap darah perjuangan saya. iya, tidak akan pernah ada yang sia-sia. Apalagi do’a. sekecil apapun do’a, Allah selalu mendengarnya. Dan siap mewujudkannya di saat-saat yang tidak pernah terduga bahkan ditengah-tengah ketidakmungkinan.
               Saya benar-benar merasakan angin kesejukan. Buah dari perjalanan panjang yang terjal. Buah dari pahit-getirnya drama kehidupan. Ini adalah milik saya. setelah hampir tiga tahun, saya mengkungkung pembicaraan itu. Agar samasekali tidak pernah jadi bahan perbincangan (lagi). Cukup ditahun pertama saya membicarakannya dalam do’a. dalam hati, juga perjuangan saya yang selalu menginginkan itu terwujud. Ini benar-benar keajaiban. Sebuah kesempatan emas yang saya tunggu-tunggu. Allah benar-benar memberi lembar kemungkinan terbaiknya diakhir dobrakan do’a malam itu. Inilah yang terbaik menurutNya dan ini caraNya mengasihani ku.
               Saya benar-benar bersyukur. Teramat sangat bersyukur atas smua karunia ini. sekalipun masih dalam itungan bulan, setidaknya saya tahu “anak-anak doa itu melesat tepat di induknya”.

Doa memang tak pernah semata-mata jadi ucapan kata belaka.
Doa tak pernah semata-mata harapan kita.
Tapi Doa adalah Bahasa hati antara anak-anak langit dan induknya.
Doa tak pernah jadi semata-mata do’a.

Itu yang benar-benar saya rasakan selama tiga tahun ini. dan ini adalah keajaiban. Jawaban do’a terbesar saya di tahun pertama. Semoga di tahun berikutnya, Allah juga menjawab runtutan do’a saya di tahun kedua.
Teruslah berdo’a. teruslah berjuang. Teruslah bersabar. Jalan panjang tak selamanya gelap. Tak selamanya kering, tak selamanya tandus. Bersabarlah. Karena buah dari kesabaran itu benar-benar amat teramat sangat manis.