Kali ini aku menyerah. Melepasmu dengan begitu pasrah. Meski nyatanya aku menangis begitu keras. Mencoba mencari kekuatan namun nyatanya aku memang terluka parah. Kini aku menyerah. Memahami pergi memang tak semudah membayangkanmu akan kembali. Meski mungkin tak akan pernah terjadi.
…
Aku masih menimang-nimang semua yang terjadi belakang ini. Membanding-bandingkan beberapa kejadian yang benar-benar bertolak belakang dengan kepercayaanku selama ini. Malam berjalan tanpa hambatan. Namun, terasa begitu lama untukku. Begitu lama untuk semua kenyataan yang harus aku hadapi sekarang. Di mulai dengan malam ini. Dentuman jam dinding seolah memberiku aba-aba, aku harus terus terjaga. Menghindari mimpi yang hanya akan menambah luka.
Ternyata ada yang lebih perih dari memutuskan sendiri.
Ada yang lebih sakit dari setiap pertengkaran yang terjadi.
Ada yang lebih-lebih sadis dari semua perhatianmu yang mulai terbagi.
Ada.
Ya.
Saat kamu berkali-kali mengangap ku sudah biasa lagi. Dan mungkin memang sewajarnya kamu berfikir seperti itu.
…
Teman. Ikatan itukah yang jadi pedoman kita sekarang ?
Bukankah teman tak boleh menuntut banyak ? tak boleh marah saat salah satu dari kita sudah malas meneruskan perbincangan ? tidak kesal saat di balas dengan jawaban singkat sedang pesan yang kita kirim begitu rinci ? tak boleh merasa “tak ada” jika memang pilihannya tak mau membalas pesan-pesan kita yang sangat tidak penting ?
Tapi sungguh. Aku masih merasa lain. Aku belum semampumu membiasakan sikap seperti padaku. Aku belum mampu melupakan mu dalam setiap cerita yang ingin aku bagi. Meski bagimu sudah tak penting lagi. Aku masih ingin meneruskannya. Sebagai teman.
Harusnya aku bisa. Bercerita tentang yang aku mau. Dan tak perlu merasa lain saat kamu lebih memilih mendengarkan tanpa berkomentar. Atau lebih parah saat kamu lebih memilih mengabaikan karena bagimu tak pernah penting.
Sebelum ini.
Kamu selalu meluangkan waktu untuk mendengarku bercerita. Berkomentar sekalipun hanya komentar seadanya. Kamu selalu membalas pesanku kapanpun. Kamu selalu mengklarifikasi jika kamu telat membalas pesanku. Kamu selalu ada. Itu janjimu kala itu. Dan kamu menepatinya.
Memang kamu selalu menghilang saat aku emosi. marah, kesal. Tapi disatu sisi aku tahu, kamu hanya menghindari pertengkaran berlebih denganku.
Kamu memang tak sempurna. Kamu sama seperti lelaki lain pada umumnya. Menuntut untuk di cintai, memimpikkan di sukai banyak wanita, dan kadang kamu menenggelamkan dirimu terlalu dalam hingga aku sukar menemukkanmu. Kamu kadang terlalu asyik dengan games kamu, terlalu bersemangat mengumpulkan harta di get rich, terlalu telaten memberi makan pow. Sampe kamu lupa pada ku. Saat itu aku akan marah besar denganmu. Suaraku melengking keras di telingamu. Mempertanyakan hal yang sejujurnya berkali-kali sudah aku yakini jawabannya.
Tapi ternyata ada yang lebih buruk dari itu. Ya kesabaranmu yang sudah menipis untuk bersamaku. Untuk memahami dan menerimaku.
Kamu memang tak selalu baik di depanku. Kadang kamu-pun cemberut saat aku sibuk dengan pekerjaanku. Kamu tetap lelaki yang tak mau aku dikte seenak jidatku. Kamu tetap ingin dihargai setiap keputusannya, ingin dinomor satukan. Dan selalu ingin diakui keberadaannya. Ya kamu memang egois. Egois untuk memilikiku satu sepenuhnya untukmu.
Tapi kali ini ada yang lebih keras dari pada semua keegoisanmu waktu itu yang masih bisa aku rampok dengan sedikit perhatianku. Kali ini, kamu benar-benar tak ingin menganggapku lain. Kamu benar-benar hanya menganggapku teman.
Ternyata sabarmu memang sudah tak tersisa lagi untuk lebih lama bersamaku. Sedang aku sudah mulai memahami semua tabiatmu. Aku sudah mulai melunak saat kita bertengkar. Aku sudah mulai sering mengalah saat memang kamu yang salah.
Terlalu sakit sekarang.
Membiasakan diri untuk tidak lagi memberitahumu tentang kabar keseharianku, tentang perkerjaanku, tentang rutitasku dan bahkan aku sudah tak ada lagi teman untuk becanda, tak ada teman untuk mengiba saat aku muak dengan semua yang aku jalani. Aku sendiri melalui itu sekarang, tanpa pundak dan belaian halus tanganmu.
Aku harus terbiasa dengan panggilanmu memanggil namaku tanpa embel-embel apapun. Aku harus terbiasa dinomorsekiankan saat memang aku benar-benar membutuhkanmu. Aku harus terbiasa di abaikan, memilih untuk tidak dilihat, atau lebih parah aku harus terbiasa saat kamu memang memilih untuk tidak ada aku lagi.
Apa seorang lelaki selalu seperti itu ?
Begitu mudah mengabaikan padahal sebelumnya begitu mendambakan ?
Begitu mudah melupakan padahal sebelumnya begitu antusias mengenang ?
Bagiku, tak mudah berteman denganmu, pun tak mudah menganggapmu orang lain yang sama sekali tak ku kenali. Terlalu banyak kejadian yang seharusnya kamu masih bisa seperti dulu.
Terakhir kamu bilang, kita akan sama-sama terbiasa, dan harus membiasakan. Apa itu bagian dari ritme yang sedang kamu jalani untuk melupakan ? dan kamu kesal karena aku selalu datang untuk mengacaukan ? begitukah ? hingga kamu lebih memilih mendiamkan ?
Entah apapun. Setidaknya dekati aku lagi, meski hanya untuk mengajariku bagaimana melupakanmu dengan cepat dan tanpa perlu banyak syarat. Seperti dulu, kamu dekatiku, untuk mengajariku mengenalmu dengan cepat dan tanpa perlu banyak syarat.
….
tadi pagi dengerin curhat dan jadilah ini.
catat penting :
gak mudah temenan sama orang yang dulu pernah lebih dari sekedar itu,-pun tak mudah menganggap nya orang lain sedang sebelumnya mengisi banyak waktu dimanapun. Bukan sekedar teman chat, teman bermain, atau teman suka-suka
@shintajuliana