Klik Sumber Gambar |
Belakangan ini sering terjadi perdebatan panas antara wanita karir dan ibu rumah tangga. Di zaman yang sudah mengalami reformasi besar-besaran dalam berbagai aspek, yang mana kedudukan wanita sudah diakui sah di mata hukum, bersejajar dengan kedudukan pria. Maka hal ini dijadikan satu acuan penting, bahwa wanita juga berhak atas kesuksesan di dunia luar. Wanita punya porsi yang sama untuk berkarir.
Disini, saya hanya berperan untuk menyampai pendapat, tidak untuk membenarkan kubu manapun. Karena bagi saya, menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir, keduanya adalah panggilan jiwa yang mana tidak hanya cukup dinilai dengan “sekedarnya”.
Sebagai seorang wanita yang sudah berani melangkah ke jenjang pernikahan, mereka sadar betul, bahwa dalam cangkupan kehidupannya bukan lagi hanya berpusat di dirinya. Ada orang lain yang berhak banyak atas dirinya, yang mana orang lain itu menjadi bagian penting kehidupannya.
Tapi adakalanya beberapa prioritas lain yang turut serta mengambil bagian dari dirinya.
Wanita, disini kami paham betul apa peran seorang istri. Begitupun hak yang dimiliki anak-anak atas peran ibu. Begitupun dengan banyak orang yang pada akhirnya memilih berkarir dari pada menjadi ibu rumah tangga secara utuh.
Beberapa hal mendasar yang menjadi faktor pendukung di antaranya :
1. Alasan ekonomi
Mari kita bicara faktor ini dalam cakupan ekonomi menengah ke bawah. Pernikahan dalam cakupan luas adalah menyatukan dua keluarga yang semula tidak tau menahu, menjadi saling. Yang mana, tau menahui itupun dijabarkan dalam tindakan nyata, seperti saling menolong dalam kesulitan, saling mensupport, saling meluangkan waktu, saling memberi, dll.
Lelaki, taukah beberapa hal yang berkecamuk dalam beberapa wanita yang harus meninggalkan pekerjaannya untuk tetap di rumah ?
Taukah beberapa kebimbangan yang mendominasi pikiran yang beratnya bukan kepalang ? Ya keluarga pihak wanita.
Ada beberapa wanita yang setelah menikahpun tetap menghawatiran kehidupan orang tuanya, masa depan adiknya. Open your mind, dalam kasus ini tidak semua orang beruntung memiliki ekonomi cukup. Banyak kasus yang menyebutkan, bahwa seorang wanita rela menjadi wanita karir adalah tuntutan keadaan yang mana dia tidak bisa menutup mata saat orangtua nya butuh bantuan, tidak bisa menutup telinga atau lantas mematungkan diri atas beberapa duka yang menerjang keluarganya.
Al-qur’an dan Al-hadist berkali-kali menyebutkan, bahwa hak penuh atas diri seorang wanita setelah menikah bukan lagi ada pada orang tuanya, melainkan suaminya. Tapi naluriah seorang anak atas rasa iba tetap tidak ada matinya, sekalipun dia telah berkeluarga.
Sebagian orang mungkin akan bicara dengan lantang,“milik suami adalah milik istri.” Namun, dalam bukti nyata, bagi mereka yang punya mental mandiri, meminta kepada suami adalah hal-hal yang tidak mudah. Bagi mereka yang terbiasa mandiri, yang terbiasa menopang susah sendiri, yang terbiasa bisa lantas tiba-tiba harus bergantung penuh pada penghasilan suami, hal ini lumayan menggelitik ego diri. Ada rasa malu yang menguar.
Nah, alasan itulah yang kemudian memicu sebagian wanita untuk kembali terjun kedunia karir bahkan setelah berkeluarga.
2. Jenuh dengan rutinitas
Poin kedua mungkin banyak orang kontra. Tapi pada kenyataan di lapangan, seorang wanita yang terbiasa bekerja, terbiasa bersosialisasi dengan dunia luar, bercakap tentang banyak hal, menyelesaian banyak tantangan di dunia kerja, menghandle berbagai problematika seputar pekerjaan, lantas tiba-tiba harus berdiam di rumah, bercengkrama dengan bumbu-bumbu dapur, berteman dengan cucian kotor, percayalah ini sangat butuh latihan dan kesadaran tinggi.
Jika kita membaca buku tentang family guide, yang di dalamnya memaparkan banyak kegiatan-kegiatan kecil di rumah, pembelajaran mendasar untuk anak, pastilah naluriah kewanitaan akan sedikit tercongkel. Tapi, hal ini bagi sebagian wanita tetap tidak bisa memberi roh pada jiwanya yang haus akan prestasi.
Well, saya gak mau banyak komentar untuk poin kedua, yang mana fakta ini sebetulnya banyak ditemukan di kota-kota besar dengan sebutan “ibu masa kini”. Kota yang haus akan reputasi dan prestasi.
3. jaga-jaga untuk kemungkinan terburuk
Hidup memang tak selalu menyuguhkan bahagia, tidak melulu tentang tawa. Ada kalanya cacat menjadi awal duka. Begitupun dengan pondasi rumah tangga. Iman seseorang ada naik turunnya, begitupun dengan keasadaran. Manusia tak luput dari khilaf. Sebagian wanita memilih tetap bekerja sealipun sudah menikah adalah takut-takut si suami berbelot arah, tidak lagi bisa mempertahankan keutuhan dengan alasan berbeda prinsip atau hal lainnya. Maka, alasan ketakutan perceraian itulah yang menyebaban sebagian wanita tetap memilih bekerja.
Mungkin di poin ini banyak yang mendengus, tapi dalam catatan ini saya ingin membuka pandangan, tanpa unsur menitikberatkan pada satu kubu. Tidak, tulisan ini saya buat netral berdasarkan banyak kasus disekitaran.
Mari tinggalkan faktor pendukung seseorang memutuskan tetap bekerja setelah menikah. Mari beralih ke beberapa kehawatiran yang menghinggapi, mengendap di pikiran sehubungan dengan naluriah seorang wanita yang mana sudah menjadi seorang ibu.
Diantaranya :
1. Tidak dapat memenuhi kewajiban seorang istri secara penuh.
Pernikahan. Suami dan istri. Wanita manapun yang sudah menjadi seorang istri pasti berharap bisa merauk amal yang sebanyak-banyaknya dari ridho suami atas apa yang dikerjakannya. Dan seorang istri yang bekerja di luar rumahpun, pasti menghawatirkan dirinya tidak bisa full memberikan apa yang menjadi kebutuhan seorang suami. Seorang wanita yang sudah menjadi seorang istri paham betul, bahwa suami menginginkan ketenangan, kesejukan, ketika berada di rumah. Dan hal ini, menjadi endapan pikiran tersendiri bagi sebagian wanita yang tetap memilih bekerja setelah menikah.
Dunia kerja yang menuntut selalu fokus, dunia kerja yang tentunya menyedot banyak energy, dunia kerja yang memporsir tenaga, tentunya menjadi kehawatiran tersendiri. Takut-takut setiba di rumah, malah langsung tidur karena kelelahan. Takut tidak bisa memberikan ketenangan saat suami pulang bekerja karena fisik dan pikirannya pun sama lelahnya.
Ya, seburuk apapun seorang wanita, dia tetap ingin menjadi istri terbaik untuk suaminya.
2. Tidak bisa memenuhi hak anak atas peran seorang ibu.
Yang paling berat dalam topic ini adalah “peran ibu” yang mana tidak seorangpun yang bisa menggantikan peran ibu walau semenit. Jika kita sering membaca artikel tentang family guide, atau buku-buku parenting, pastilah di dalamnya mengkupas habis tentang peran ibu dalam pembentukan karakter seorang anak. Peran ibu sebagai wadah pembelajaran pertama bagi seorang anak, peran ibu sebagai media penghubung anak dengan dunia luar, mengenalkan hal-hal kecil hingga besar.
Baik ibu yang fulltime berperan sebagai ibu rumah tangga, atau yang menjadi wanita karir, pertumbuhan dan perkembangan anak tetap mejadi hal utama. Meskipun keduanya punya cara berbeda dalam menunjukannya.
Siapa sih ibu yang tak ingin melihat anaknya tumbuh sempurna, menjadi anak-anak yang peka terhadap lingkungan, anak-anak pintar baik akademik maupun non akademik, anak-anak yang tumbuh dengan pengertian baik. Semua ibu menginginkannya.
Tapi balik lagi ke faktor pemicu, hingga pada akhirnya kedua hal yang menjadi kehawatiran itu hanya akan menjadi perang battin sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan
____________________________________________________________________________
Finally…..
Berdasarkan kasus di atas, akhirnya saya membentangkan satu garis lurus antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga, yaitu :Seorang wanita yang sudah berkeluarga tetap harus punya penghasilan sekalipun hanya berdiam di rumah.
Itu Garis besarnya !
Tapi menuju kesana, tentulah tidak mudah. Harus ada persiapan matang baik itu dana pensiun atau otak cerdas dalam memanage modal. Well, akhirnya ini mengarah pada usaha/wiraswasta, atau kegiatan lain yang bisa menghasilan uang. Di zaman yang serba modern ini, yang mana onlineshop sudah menjamur yang gampang tumbuh dimana-mana, hal ini bisa dijadikan acuan untuk ladang usaha. Atau bagi yang punya banyak modal, boleh mencoba berwiraswasta. Tidak perlu besar, yang penting ada pemasukkan.
Pekerjaan seperti itu tidak perlu menghabiskan banyak waktu di luar, tetap bisa fokus mendidik anak, memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak, memberi perhatian full pada suami, disamping itu tetap bisa membantu keluarga dan tetap punya kegiatan yang bermanfaat dari sekedar duduk dan bergosip. Untuk cakupan pergaulan, semoga dengan adanya interaksi dari berwiraswata, pergaulanpun makin bertambah.
Perlu di garis bawahi, Saya Shinta dan belum melangkah ke-mahligai pernikahan. Semua pandangan yang saya tuangkan dalam tulisan ini adalah mutlak dari hasil mendengarkan, melihat lingkungan sekitar. Jadi susah mudahnya, masih berupa pengalaman mendengaran, melihat tidak melibatkan diri secara langsung.
JADI, SIMPULANNYA :
JIKA MEMILIH UNTUK TETAP BERKARIR, HARAP MENJADIKAN KEWAJIBAN ISTRI DAN ANAK DI ATAS PEKERJAAN. MENJADIKAN PRIORITAS TERBESAR ATAS DIRI SEORANG WANITA YANG BERKELUARGA TERLETAK PADA PERAN IBU DAN ISTRI.
KEDUANYA, SEMOGA MENDAPAT RIDHO DARI SUAMI, YANG MANA RIDHO ALLAH TERLETAK PADA RIDHO’ SEORANG SUAMI.
@shintajulianaa