Berhubung dengan adanya challenges 30 hari tanpa media social, saya juga menantang diri saya untuk selalu menambah wawasan atau pengetahuan saya dengan hal-hal baru. Dan di hari ketiga saya tanpa media social ini , waktu luang yang biasa saya gunakan untuk melihat news feed di instagram atau membaca banyak topik di facebook, saya alokasikan untuk mengetahui lebih dalam tentang sekolah karakter.
Berawal dari obrolan-obrolan ringan memang tak luput dari penambahan wawasan asal kita berani untuk open minded dan tentunya pandai-pandai dalam memilih teman bicara. Seperti saya yang mulai mengenal sekolah karakter dari cerita teman saya yang bekerja di sebuah Yayasan di Jakarta. Bulan yang lalu dia dikirim ke Kalimantan untuk memandu beberapa anak yang mengikuti study tour dari sekolah-sekolah internasional di Jakarta.
Ketertarikan saya muncul dari metode pembelajaran yang diberikan teman sayasaat disana. Mulai dari mengajari mereka bagaimana cara mencuci piring yang benar, mengajari menggunakan waktu 24 jam dengan efiesien, menumbuhkan sikap tanggungjawab, mandiri, sehingga tidak selalu bergantung kepada orang lain.
“ternyata tidak semua anak tau bagaimana cara mencuci piring yang baik”.
“ternyata tidak semua anak tumbuh dengan kepekaan yang tinggi”.
“ternyata tidak semua anak memiliki pengertian yang cukup baik tentang bagaimana karakter yang baik”.
Kira-kira itu simpulan saya saat mendengarkan ka siska bercerita tentang pengalamannya di Kalimantan.
Mereka butuh sosok yang bisa dijadikan contoh. Saat yang mereka lihat hanya pemandangan formal dengan jas-jas mentereng dan kemeja-kemeja beken, atau bahkan hanya menyisakan satu perempuan berpakaian daster yang lebih fokus menyelesaikan pekerjaannya ketimbang mengajari mereka kebiasan-kebiasaan baik.
And I don’t want to judge whatever that’ve chosen. I just trying to understand, and so they need the help of others to introduce their childrens with good habits. And this is where character schools play a role.
Meskipun tempat ka siska bekerja bukan berperan sebagai sekolah karakter khusus, tapi kadang-kadang Yayasan tempatnya bekerja membuka semacam field trip. Nah field trip disinilah yang kemudian menjadikan Yayasan tersebut merangkap peran sebagai sekolah karakter.
Di sekolah karakter ini, siswa tidak terlalu difokuskan untuk belajar di kelas, tapi lebih cenderung ke active learning yang langsung bisa dipraktikan. Menarikan ? Sekolah karakter juga ternyata bukan hanya terbuka bagi anak-anak usia dibawah 7 tahun, tapi bagi kalian anak-anak SMP juga masih bisa berpartisipasi lho.
Nah, bagi yang pengen banget tahu lebih lanjut tentang sekolah karakter, bisa langsung googling aja. Sudah banyak kok artikel-artikel yang menjelaskan tentang sekolah karakter.
Dan bagi saya pribadi, hari ketiga tanpa social media ini sangat-sangat terasa bermanfaat. Karena wawasan tentang sekolah karakter yang bermula dari obrolan seru dengan teman ini berlanjut menjadi rasa penasaran yang mendorong saya membaca lebih banyak tentang sekolah karakter. Lumayankam bisa jadi bekal untuk kemudian hari.
Sekian dan semoga bermanfaat.