Klik Sumber Gambar |
Malam tak kunjung berganti pagi, sekalipun pagi tetap hanya bercerita tentang jiwa yang mati. Mungkin aku bukan satu-satunya. Aku tidak sendirian, dan ini bukan kali pertama. Penat. Sungguh penat. Entah ungkapan macam apa yang berhasil mewakili jiwa yang hanya diperbudak tuntutan agar tetap hidup. Waktu seakan hanya menjadi skala usia. Menjadi batas manis antara tua dan muda. Tapi jiwa tetap saja seperti biasa. Ini apa ? Aku harap ini hanya sebatas retroverso. Membutuhkan nyali lebih untuk memutar kenop ke sisi lain hanya agar menemukan banyak.
Manusia oh manusia. Jiwa yang tak pernah ada batas untuk terus merajuk. Tak pernah putus untuk meminta lebih. Akankah hidup hanya perkara tentang menunaikan apa yang dibutuhkan ? lalu penikmat tidak lagi terkecap pada berbagai indera ?
Malam terasa benar-benar panjang. Tak ada bunyi lain selain bunyi detik yang seolah mengejekku yang enggan untuk terlelap. Dan hati, bersuara lebih besar, banyak kurcaci menari-nari di otak, mengirim impuls agar aku makin merasa penat. Sunyi di luar tapi bak pasar pagi di dalam. Riuh. Hiruk pikuk bak euforia pesta kemenangan. Bedanya disini aku yang kalah. Hatiku dan segala bisikan-bisikannya menjadi kan aku terkungkung dalam dilema yang amat dalam. Logika mengambil alih kegiatan untuk berdiskusi lebih panjang. Oh Tuhan.. Aku penat.
Jika dalam diri manusia ada keadaan dimana semua aktivitas stabil, berjalan sesuai rencana. Pagi bekerja dan malam di isi dengan membangun kastil di alam bawah sadar, bersandar pada bantal tua yang baunya sanggup melelapkan. Tapi sayang, sebagian jiwa sudah terlanjur mengkristalkan dirinya sendiri. Yang ada hanya tinggalan duplikasi tanpa jiwa. Semua bergerak bagai robot. Dari satu misi ke misi lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Akankah hidup hanya mengenai misi ? lalu jika ya, kenapa harus ada jiwa jika robot pun mampu menuntaskan semua.
Waktu benar-benar sedang mencandaiku. mengajakku menari-nari dalam kekalahanku sendiri. Menginginkan aku berpesta diatas kematian jiwaku sendiri. Kemarin, awal tahun dan segala hari yang telah terlewati, seolah menjadi musuhku. Mengajakku untuk bercengkrama sekaligus memintaku menjadi jaksa semua kesalahanku. Aku makin tersungkur.
Apa yang kucari ? Tak perlu lagi harusnya aku kemana-mana. Karena yang ku cari tinggalah aku gali dalam diri.
Jiwa apa kabar kamu ? Lama tak berua. Matikah ? atau hanya sekedar koma, menungguku menangis, meronta, memintamu kembali ada. Jiwa.. Badanku remuk termakan semua rutinitas palsu. Ya, Palsu. Karena rutinitasku hanya sekeder agar aku tetap bertahan hidup. Memberi makan raga tapi lupa akan kamu wahai jiwa.
Jiwa, tercenungkah kamu. Otakku terus menguras semua yang tersisa. Aku lelah menyelesaikan semua ini sendiri. Hatiku terlalu lemah untuk di timpa banyak hal tanpa penyeimbang. Otakku terlalu individualis lagi egois. Ragaku terlalu ringsek untuk bisa mengatur ritme-nya.
Aku masih tercenung. Kali ini butir-butir itu jadi saksi bisu. Aku tak ingin jadi yang kalah. Apalagi kalah hanya untuk sekedar ego menguasai segala hal yang halus dalam diri. Aku tak ingin jadi keras. Meski mungkin selagi kau koma, aku sudah terlanjur berada di garis tebal untuk mati rasa.
Jiwa.. Suaraku menggema—-seolah mencari celah untuk menyusup ke bagian paling peka untuk mengantarmu kembali ada. Aku benar-benar lelah untuk memperbudak raga yang lemah ini. Aku butuh jiwa yang tenang lagi anggun dalam meniti setiap misinya. Aku butuh jiwa yang tegar untuk berjalan beriringan dengan hati yang lemah. Aku butuh Jiwa yang ketika berdiskusi dengan otak tak lagi berkiblat pada ego semata. Aku butuh itu.
Tak ada yang lain. Tak ada di tempat lain. Tak ada.
Jiwaku hanya tertanam pada ragaku. Dan jika dia mati, aku ingin dia hidup kembali. Menentramkan lagi mendamaikan.
Dan yang ada hanya euforia pertemuan kembali antara logika, hati, dan ruhnya.