Perjalanan menjemput Golden Sunrise, Sikunir


 Bagiku, yang terpenting dari sebuah perjalanan bukan tentang secepat apa kita sampai. Tapi, seberapa banyak pelajaran dan tentunya dimana kita pada akhirnya  ‘sampai’. ditujuan itu atau mungkin berputar arah sebelum sampai pada tujuan itu sendiri.
Sudah lama, begitu lama dan begitu banyak rencana perjalanan yang hanya cukup berakhir sebagai wacana. Tak pernah jadi nyata, muluknya sampai bisa mejeng di rekaman memory. Tapi, entah kemarin itu faktor lucky atau memang sudah waktunya kaki ini menginjak satu destinasi yang dulu hanya mampir di alam mimpi.
Perjalanan ini bermula dari rasa jenuh yang tak kunjung mereda, malah makin terasa sampai sesak di dada, lagi dan lagi. Awalnya sempat kuberi nama perjalanan ini sebagai “pelarian”, Namun pantaskah disebut pelarian jika pada akhirnya aku ingin menjadikan pelarian itu tempat pulang? Skip for this statement.  
Bisa dibilang, perjalanan ke Dieng adalah sebuah perjalanan yang tak disengaja. Karena awalnya aku lebih memilih mengunjungi Malang daripada Dieng karena penasaran dengan kampung wisata disana. Sebenernya ini merupakan aksi nekat juga sih, karena awalnya aku ingin solo backpacker. Tapi, saat aku cek tiket kereta Malang untuk keberangkatan 11 Agustus 2017, kemarin, ternyata sudah sold. Mungkin alam belum memberi restu perempuan yang hanya modal nekat ini sok-sokan solo backpack. 
Nah, karena aksi nekat solo backpacker gak bertahan lama, akhirnya aku mengajak satu partner buat nemenin lari dari Jakarta sejenak. Dia adalah Rizka Wulandari, founder hijabransel.com. Bermula dengan ajakan singkat di whatsapp.
 “Ceu.. Liburan yuk!” 
“Yuk, Kemana?” 
“Jogja.”
Ketika aku butuh piknik, layar laptop semua terlihat seperti ini ;p

Awalnya, aku memilih Jogja sebagai destinasi cadangan setelah Malang. Namun, emang belum jodohnya buat kesana, setelah menemukan kawanpun, ternyata harga tiket gak sesuai budget banget. Jogja? lewat. Ngobrol ngalor ngidul, dan tiba-tiba tercetuslah destinasi final yaitu ‘Sunrise di Sikunir, Dieng Wonosobo’.
Dari mulai pemesanan tiket kereta, jadwal yang cocok, dan teman yang siap sedia mengantar, cukup membuat matang perjalanan kali ini. 
Menuju Dieng dengan berteman Kabut dan Gerimis
“Berapa jam lagi sampai Dieng?” Tanyaku di alun-alun Barjarnegara sambil menikmati teh hangat warung kaki lima.
“Target jam 8 sampe”.
“Tapi tau jalankan, Ri?” Aku bertanya entah keberapa kalinya. Selain karena  ini perjalanan malam, aku ingin memastikan temanku benar-benar ‘sadar’ dengan keadaan jalan di malam hari.
“Shin.. buka maps, bisik salah”. (bisik salah=takut salah bhs.sunda)
Untungnya sekalipun di daerah perbukitan, signal XL tetep konsisten. Dengan berbekal maps di tangan, kamipun melajukan motor kami membelah jalanan Barjarnegara menuju Dieng. 
Pelan tapi pasti, langit mulai menampakan awan hitam bertanda akan turun hujan. Semakin malam, udara dingin semakin menembus pori-pori. Tepat pukul 19.00, perjalanan kamipun ditemani gerimis yang kian membesar. 
“Lanjut, kuatkan?”
“Kuat”. 
Dan akhirnya, kami mengabaikan gerimis yang pelan-pelan menjadi hujan. Memasuki daerah Wonosobo hujan reda, berganti dengan kabut pekat yang menghalangi pandangan. Jarak pandangan hanya sepelemparan batu. Belum lagi sepanjang jalan yang kami tempuh sangat-sangat minim penerangan. Semakin ke atas, semakin dingin, aku mulai merasa menggigil. Jalanan yang lengang tidak membuat kita memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sadar rute disini sangat berbahaya, selain jalanan berkelok, naik dan turun, minim penerangan juga kabut yang semakin pekat, membuat kami hanya mengandalkan penerangan dari lampu motor. 
“ternyata purwokerto-Dieng itu jauh”. Batinku yang mulai merasakan pegal. 
Rizka dan Ino terus mengekor di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan agar tetap fokus dengan situasi jalan. Yang jelas aku sudah sangat-sangat mengantuk. 
Selain karena hawa dingin yang sudah mulai masuk ke pori-pori dan daya ‘melek’ mata yang tinggal bersisa beberapa watt karena selama diperjalanan Jakarta-Purwokerto aku hanya bisa tidur 2 jam, alhasil saat menuju dieng dengan cuaca mendukung buat tidur bener-bener membuatku pengen cepet-cepet berselimut manja di guest house
Karena telat turun dari Curug Jenggala, membuat kami harus menempuh perjalanan malam menuju Guest House terdekat dengan Sikunir. Ya, sesampaikannya  di Purwokerto pagi tadi, aku dan Rizka diboyong untuk menikmati pesono Curug Jenggala. Merasa dinina bobokan dengan suara alam ketika air jatuh ke permukaan bumi, kami baru meninggalkan lokasi Curug Jenggala selepas ashar.
Setelah melewati gelap dan gelap, bahkan hanya beberapa kendaran saja yang lewat, atau kadang tersisa hanya dua motor kami yang terus melaju menembus malam yang semakin naik keperaduan.
Segala macam lagu sudah aku nyanyikan, selain agar tetap terjaga, lumayan juga buat hiburan. Dari mulai lagu barat tahun 90’an, lagu pop indo tahun 90’an, lagu sunda, lagu dangdut, sampai keroncong, turut serta mewarnai perjalanan kali ini. Sekalipun suaraku semakin gak karuan, yang penting intinya jangan diem. Tak apalah, kerjaku selama perjalanan hanya bernyanyi, itung-itung timbal balik dengan temenku yang bersedia mengantarku.
Akhirnya, lampu-lampu rumah warga mulai tertangkap mata. Sebentar lagi memasuki kawasan rumah warga. Sesampainya disana, ku tengok kanan-dan kiri mencari penginapan yang kira-kira cocok di kantong. Satu kali turun, nego, dan gagal, beranjak lagi ke lokasi kedua. Alhamdulillah, harganya lumayan oke. Akhirnya kami sepakat bermalam disini. Cukup murah, untuk dua kamar tidur seharga 250rb.

Sungguh lelah hari ini, membuat kami menarik selimut lebih cepat. Siapkan stamina buat besok menuju Golden Sunrise Sikunir.
Ketika Semua diluar prediksi
Rencana tinggalah rencana, kalo ternyata drama lebih banyak mengambil makna, maka kita harus menjadi pemain yang tetap harus menikmati segala perannya.

“Pak, sekang kene teng sikunir pirang menit?”

“15 menit”
Kami sudah terbangun dari jam 4 subuh. Siap-siap segala perlengkapan untuk menuju Sikunir. Selesai sekitar 4.30, Harry dan Ino dengan sigap memanaskan motor. Sengaja berangkat lebih awal, takut-takut dengan segala kemungkinan terjadi, kita tak pernah tau apa yang akan terjadi sebelum benar-benar terjadi
“Kita subuhan di sana?” Tanyaku sambil menenteng ransel yang berisi air minum, alat sholat, sarung tangan dan kain kemul takut-takut disana lebih dingin dari pada perjalanan tadi malam.
“Iya disana aja”.
Baru juga mau melangkahkan kaki, suara adzan di Masjid sebrang berkumandang nyaring. Akhirnya, kami memutuskan untuk lebih mendahulukan kewajiban kami sebagai muslim. Aku dan rizka masuk kembali ke penginapan, sementara kedua temanku (Ino dan Harry) berlalu ke Mesjid Sebrang.
Harry dan Ino baru kembali dari Masjid sekitar pukul 5.00 pagi. Aku dan Rizka sudah siap nangkring di jok motor. Lagi-lagi drama kedua muncul.
“Gaes.. perut gue melilit. Pengen toilet dulu”. Rizka lari terbirit-birit kembali masuk ke penginapan.
Tik tok tik tok. Detik berganti menit, jam di pergelangan tangan sudah menunjukan pukul 5.15.
Setelah rizka meminta maaf dengan dramanya, kamipun melaju dengan kecepatan yang lumayan demi mengejar sunrise di pukul 05.46.
Ku fikir, dramanya cukup sampai perut yang sembelit. Ternyata di tengah jalan, karena minim petunjuk arah, kamipun salah memilih arah menuju Sikunir. Ada sekitar 7 menit waktu terbuang sia-sia. 
Waktu terus bergerak maju, semburat sinar merah keemasan mulai muncul dari ufuk timur menyibak gelapnya malam. Malam sudah berganti pagi, dan kami terpaksa menikmati sunrise di atas jok motor dengan harapan masih tersisa beberapa derajat sebelum benar-benar matahari naik.

Sikunir Golden Sunrise
Kau tahu apa hikmah dari menikmati sunrise sebegininya? Apalah bedanya dengan sunrise yang kita nikmati di balik jendela kamar? Yang aku tahu, sunrise yang didatangi dengan sebegininya adalah tanda wujud akan rasa syukur kita, karena Allah senantiasa memberi lembaran baru. Dan lembaran itu perlu dijemput dengan kerja keras, niat yang kuat agar lembarannya bisa terbuka dengan sempurna. Seperti runrise yang sempurna jika dinikmati di tempat yang tepat, disini. Bersama nyanyian alam, dan mata menerawang menangkap banyak ciptaan Sang Maha Besar.
Ternyata, pesona Sikunir tak hilang meskipun matahari sudah seperempat naik. Sekalipun kami baru sampai puncak sikunir pukul 06:20, aku tetap bisa merekam sisa-sisa euphoria dan rasa syukur mereka disini.
Akhirnya, aku sampai disini. Mungkin dimata mereka, aku gagal menikmati sunrise. Tapi bagiku sendiri, aku tetap  menang. Karena bagiku, kemenangan sebuah perjalana  bukan tentang secepat apa kita sampai, tapi tentang dimana kita sampai dan bagaimana kita bisa sampai. Dan aku cukup bangga dan senang bisa berdiri disini. Karena ini adalah tujuan awal, tidak patah harap apalagi sampai berputar arah. Saat ini, Minggu, 13 Agustus 2017 bersama Rizka, Harry dan Ino, mengabadikan ciptaannya, mengkristalkan perjalanannya.  Terimakasih.

Sekian cerita perjalanan menjemput Golden Sunrise Sikunir. Untuk review Sikunir Golden Sunrise yang lebih lengkap, insyaallah akan aku post nanti berikut tracking, tiket masuk, dan info-info lainnya.
Salam..

Bukan pemburu memory, hanya penikmat proses 🙂

( RE-VIEW ) #BandungdiMataku

Bandung…
Bandung tak pernah berhenti memikat hati. Bandung tak pernah berhenti membuat saya ingin selalu menemuinya. Bandung, Cintaku tlah tertambat mati untukmuu.. eaaa….

Dear Bandung…
Kota seribu kisah dimata pecinta sastra,
Kota seribu karya dimata pecinta seni,
Kota seribu kenangan dimata kita,
.
.
PENIKMAT MASALALU.
Gak enak ujungnya~~
____________________________________
Segitu aja deh intronya. Lagi males ngomong manis. Ini mungkin akan berakhir jadi draft lagi kalo-kalo dipertengahan tulisan, tiba-tiba ide buyar lalu stuck. Iya, tulisan ini sebenernya uda bersemayam lebih dari dua tahun lalu. Beberapa kalimat sempat keluar, tapi cuma berakhir jadi DRAFT. Bingung mulai darimana, karena kalo ngomongin tentang kota ini, agak sensitive banget pastinya. Atau Cuma perasaan saya saja ? ( ah.. mungkin Cuma perasaan dek shinta saja) OKE SIPPP ! ! !
Bandung ! ! Kota romantis yang mampu menciptakan kenangan manis. Iya manis kalo misal disambangin sama pacar, atau orang special. Kota seribu tawa yang mampu melupakan duka kalo dinikmati bareng sama kawan. Kota nyaman yang mampu menghilangkan lelah kalo dinikmati bareng keluarga. Komplit kan ? ?
Iya itu Bandung kita, Bandung Kami. Bandung milik Kami. Beserta seribu satu kisah kasih didalamnya. Kasak-kusuk di hatinya. Haha…  Bahasanya udah kaya yang tinggal disana aja. Padahal kesana palingan 2 kali dalam setahun. Tapi jujur, Bandung emang punya sejuta pesona. Selain menawarkan berbagai tempat wisata yang keren, tapi juga menghindangkan jajanan yang tak kalah enak. Letaknya yang dikelilingi pegunungan, membuat udara disana seger banget. Cocok buat kalian yang berniat relax sejenak dari rutinitas sehari-hari yang gitu-gitu aja.

“INI SEBENERNYA MAU CERITA APA KASIH GAMBARAN TENTANG KOTA BANDUNG DOANG SIH “

Niat awal pengen ngpost tentang perjalanan singkat saya di Bandung. Enggak banyak si, enggak terlalu sering juga si. Tapi cukup lah ya buat jadi kepingan puzzle yang emang layak banget di jadikan cerita manis. 
Bandung bagian satu.

Kira-kira pertengahan tahun 2013 lah ya, saya mengunjungi Bandung dengan keluarga saya. Berdasarkan recomendasi dari teman tante saya, Kami memutuskan untuk menginap di The Valley Resort daerah Dago Pakar. Kalo masalah pemandangan, gak usah di tanya lagi. Pokoknya the best banget. Posisi Resort berada di atas perbukitan itu, menawarkan banyak makanan yang patut banget di acungi jempol. Fasilitasnya juga lengkap banget, mulai dari Bistro Café, Suki Garden All you can eat ala “carte” ( Yakiniku & Shabu-shabu ) , Rooftop Café ala Sundanese Food dan masih banyak lagi. Menu wajib banget yang harus dicoba kalo datang kesana adalah es kopyor. Hmmm… rasanya maknyos banget. Beda deh. Nagih !

Ini Menu Sarapan ala The Valley Resort. Menunya banyak banget. Mulai dari sarapan khas indonesia sampai western.

Ini salah satu menu yang kami pesan yang tersedia di Rooftop Kafenya The Valley Resort. 

Alhamdulillah dokumentasi masih lengkap di Facebook tante saya. Jadi bisa digunakan untuk mendukung Review The Valley Resort. 

Satu lagi yang gak boleh ketinggalan kalo jalan-jalan disana. JLN. RIAU !

Di jalan Riau Bandung banyak terdapat Factory Outlet yang memiliki ciri khas masing-masing dan tentunya berbeda satu sama lain. Buat kalian yang suka berbelanja, JLn. Riau boleh jadi alternative jika singgah di kota Bandung.  Oh ya.. selain banyaknya FO atau Factory Outlet, di Jalan Riau juga banyak banget jajanan pinggir jalan yang rasanya tak kalah enak lho. Untuk kebersihan dan rasa, gak usah diragukan. Bandung juaranya.

Kalo Kalian biasa menikmati jajanan pinggir jalan dengan kucuran keringat, juga bau gak sedap asap kendaraan, lain halnya disini. Udaranya sejuk banget, soalnya pohon-pohon besar masih berdiri tegak.

Sayang banget foto-fotonya udah gak ada. Kebetulan pas kesana juga, saya masih belum berjilbab jadi yagitulah.

“Kok jadi semacam ReView ya… gak apa-apalah, yang penting tujuannya berbagi informasi sambil mengendapkan beberapa perjalanan manis.”

Bandung bagian kedua. 

Kira-kira pertengahan tahun 2014, Saya kembali berkunjung kesana. Bertepatan dengan hari jadi Bandung ( lupa deh detail tanggalnya ). Bandung kalo ada acara macetnya bukan main. Hiksss…. Sedih, hampir sama dengan Kota Jakarta. Malah lebih rumit, karena jalannya yang satu jalur. Jadi kalo salah jalan, ribetnya bukan maen. Udah jalanan macet, ditambah muter-muter. FIX KOMPLIT !

Waktu itu, saya dan teman saya yang buta Bandung hanya hafal satu jalan. Kalo gak salah di depan taman jomblo harusnya belok kanan karena kami dari Pasteur, masuk ke komplek ITB. Tapi berhubung Bandung lagi merayakan hari jadinya yang kebetulan juga malam minggu, Jalan yang kami tau ditutup. Alhasil kami harus muter-muter gak jelas di komplek ITB. Jangan tanya GPS, kami samasekali gak kefikiran kesana. Nikmatin deh itu macet sampe jalanan Dago sambil tengok kanan kiri, kali aja nemu jodoh. Eh. Yang terakhir abaikan.

Lupakan macet semalam. Karena kami tetep bisa nikmati dinner di The Valley Resort sekalipun telat 2 jam dari yang dijadwalkan.
Besoknya, Kami mengunjungi Dusun Bambu yang lagi ngehits banget. Kali ini, kami tidak melupakkan GPS. Karena itu makasih banget buat GPS yang udah nganterin dari Dago ke Dusun Bambu tanpa nyasar. #eaaaaaa

Dusun Bambu menawarkan suasana kampung sunda versi dulu. Disini, kamu akan menemukan hamparan sawah yang berundak;-undak, area villa yang rimbun, saung purbasari, danau kecil dengan sampan sangkuriang, restoran, cafe serta area taman bermain untuk anak-anak yang di desain Nyunda banget.

Untuk Kamu yang hobby kuliner, bisa langsung menuju ke area Food Court. Masalah harga gak begitu mahal kok.

Ini Lho yang dinamakan sampan Sangkuriang. hehe… Foto yang ini masih ada, soalnya kebetulan diposting di Facebook dan Instagram.
Bagus banget kan viewnya. 




Bandung ketiga. 

Ini dia, perjalanan Cuma ajang maen-maen yang masih lekat di ingatan ( baru banget bulan July kemarin). Aksi nekat saya juga teman saya di kampung yang nekat ketemu di Bandung. Kami dua-duanya buta Bandung. Kami juga gaptek. Kami tidak didukung fasilitas kekinian. Kami pergi seadanya, nekat ! !

Sempet hampir gagal si. soalnya teman saya mendadak sakit dan harus opname di Rumah Sakit Sumber Waras. Tapi berhubung nekat, baru sembuh sakitpun, dijabanin. Sebut saja demi teman. demi saya. Huhu… terharu banget deh.

“Kenapa si di bilang nekat ?”

I will tell you, now…

Saya sudah Ready to go sejak  jam 5 subuh. Niat banget jam 8 uda di Bandung. Pokoknya gak mau buang-buang waktu. Banyak tempat yang harus dikunjungi. Cuma satu si sebenernya, tapi berhubung saya tidak tau persis lokasinya, jadi ya harus siap sedia dengan segala kemungkinan. Uda rapih dan masih wangi, dengan sabar menunggu si tukang go-jek. Setengah jam berlalu. sistem gak nemuin pengendara buat nganterin saya ke pasar Rebo. Sediiiih…..

Akhirnya saya memutuskan untuk naik angkot ke arah terminal Lebak Bulus. Lokasi lebih deket dan terjangkau, tapi agak khawatir juga bis ke arah Bandung nya enggak ada. Udah lama juga nunggu sampe karatan,  lumutan, dan sebagainnya, itu angkot E-11 jurusan Pasar Minggu-Lebak Bulus gak kunjung lewat. Makin kebuang deh waktu sia-sia. Dengan sangat amat terpaksa, dengan sedikit liat budget yang terbatas akhirnya saya naik taxi. Dalam hati ngedumel “Kalo ujung-ujungnya naik taxi, dari tadi kek. Kan kalo dari tadi pasti sekarang uda di bis. WHAT THE JIZZZZ….. KZL.”

Perjuangan banget deh buat sampe Bandung di perjalanan kali ini. Belum lagi di Pasar Rebonya, ternyata Bis ke arah Bandungnya gak lewat-lewat juga. tapi emang rezekinya anak baik ya ( hihii…) ditunjukin tuh sama ibu-ibu cantik, “neng kalo mau ke bandung mah, bisa naik bis yang ke arah Tasikmalaya. itu lewat Cileunyi neng.”

Finally, berkat petunjuk ibu cantik itu akhirnya saya sampai di Bandung tanpa harus menunggu lama lagi.

et… enggak deh ralat. Emang takdirnya menunggu kali ya, iyaa.. karena pas uda nyampe di terminal cicaheum, ternyata sayapun harus menunggu lagi. Iya nungguin Tika yang salah naik angkot. Kira-kira satu jam saya nunggu. Garing banget. Mana lapar lagi. Enggak ada temen ngobrol. Gak ada jajanan. Enggak bisa maen gadget karena harus hemat baterai. Kalian bisa bayangin gimana muka saya yang semula seger jadi melempem.

Menunggu itu gak enak gaessss ! Apa lagi menunggu kepastian. Gak enak gaesss ! #Eaaaaaaa gitu si kata anak-anak galau medsos. 

Singkat cerita, berkat bantuan mamang gojek yang mukanya ngademin berasa pengen senderan itu, akhirnya Kamipun sampai di tempat tujuan. Di Green Forest, Lembang.

Sayang banget enggak bisa review tentang Green Forest, karena kami datang hanya untuk makan dan berfoto. Berfotopun enggak maksimal karena sekali lagi HARUS HEMAT BATRE !

Cuma ini doang. Foto Terbaik tanpa ketawa. Tanpa gokil-gokilan. Makasih Pak Satpam yang udah mau motoin cewek-cewek keceh ini. #ueeee #pengenmuntahseember

Menurut saya, makanan disini standar si ya… lebih mantep di The Valley Resort. Tapi lumayan lah buat ganjel perut yang kelaparan.

Yang bikin kami terkikik enggak ada habisnya adalah :

“KAMI TERJEBAK DI SANA.”

Mungkin karena kesorean kali ya. Kira-kira hampir jam 5 sore. Nungguin kendaraan umum lewat (apapun jenisnya kami enggak peduli ) yang penting bisa sampai Bandung kota jam 18:00. tapi krik-krik-kriiiiik, angkot, ojek, taxi, angkutan sayuran, buah-buahan, enggak ada yang lewat satupun. miris banget.

Nekat deh, Kami minta tumpangan ke akang-akang yang kira-kira mukanya baik, someah kalo kata orang sunda nya mah. Sampe nemu angkot di bawah. Alhamdulillah dengan 2 kali pasang wajah melas, 2 kali ganti tumpangan, dan sedikit jalan kaki yang agak lumayan, kamipun sampai di lokasi. Lupa apa nama lokasi nya.

FYI ni ya gaesss… dua-duanya tumpangan dari Green Forest sampai ledeng itu GRATIS lho. Orang Bandung mah bageur, enggak seperti Orang Jakarta yang apa-apa diduitin. Mulai deh sukuisme !

Bertambah satu personil di Jalan-jalan kami kali ini. Namanya Singgih, seorang teman lama yang kebetulan kuliah disana  bersedia luangin waktunya yang berharga banget (katanya si) buat nganterin, nunjukin, nemenin kami cewek-cewek rumahan yang biasa tidur jam 10 malam ini luntang-luntung di Bandung.

Kemana aja si kami di Bandung ?

Braga.
Siapa si yang enggak tau Jalan Braga ?

Jalan Braga adalah salah satu icon kota Bandung yang ngehits karena merupakkan lokasi syuting preman pensiun. Itu lho yang ayang bebh, ayang bebh. Mungkin kalo di Jakarta sama hal nya dengan Kota Tua ya. Karena disini Kita bisa menikmati Bandung tempo dulu, kembali ke Pemerintahan Kolonial Belanda. Braga memang menjadi the place to see and to be seen. Ruas jalan yang tak terlalu panjang dengan bangunan tua di sepanjang jalannya menambah kesan klasik. Pertokoan di sepanjang jalan Braga pun tetap mempetahankan ciri khas bangunan berarsitektur tua, sehingga membuat perjalanan kamu semakin romatis. Apalagi kalo di lewati bareng pasangan, sambil gandengan tangan. Dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak. Ngileeer deh….
Setelah nongkrong di Jalan Braga, ( bukan di kafe-kafe ya) Kami nongkrong di depan Alfa Mart. Ngomong ngalor-ngidul, ketawa ketiwi,  kami pun kembali berjalan ke Alun-alun Bandung.
FYI yaa gaes, Buat kalian yang pengen nikmatin suasana romatisnya datang kesini tengah malam ya. Di jamin lebih kerasa berdua nya. Tapi bareng temen juga gak kalah asyik lho… seperti kami yang enggak ada juntrungannya, yang penting happy aja. 

Next. Alun-Alun Bandung.

Banyak yang berubah disini. Lebih rapih, lebih terawat, dan lebih nyaman buat ditidurin. hoaam… jam uda nunjukin jam 2 dini hari. Waktu tidur genk.. hoaam zzz.

Gitu aja deh ya ReView tentang Bandung ketiga nya. And Saya pribadi bener-bener ngucapin banyak terimakasih kepada Tika yang uda bersedia bawa lari saya dari Jakarta. Makasih buat singgih, yang semula enggak bersedia.

You know gaes… Kehadiran mereka bener-bener berarti banget malam itu. Ninggalin luka bulan Mei yang masih kental banget. Huhuhuu….. They are a medicine for me !

Thanks Guys !

Muka-muka kucel. Cuma ini yang tersisa. Gak banyak foto-foto. Enggak Pede, mukanya kucel. Handphone juga uda mulai lowbat. Fix lah seadanya aja. 

Ini Contoh Kenyamanan Kami di Alun-alun Bandung. Nidurin rumput Gaess…. Enggak tau nyaman, enggak tau emang udah ngantuk berat.

Bandung Ke-Empat.

Yey… Finally meetup lagi sama Bandung. 

Tepatnya sebulan yang lalu, Saya kembali menyambangi Bandung dengan sejuta pesona nya.

Kawah Putih. 

Agak butuh perjuangan juga si sampe sini. Selain lokasinya yang jauh banget, juga medan jalan yang perbukitan membut kami harus extra hati-hati. Khusus di Kawah Putih, tidak disarankan untuk membawa kendaraan pribadi sampai gerbang kawah karena selain medannya yang susah buat pemula juga biaya parkir yang sangat mahal. Lebih hemat jika kita menaikinya dengan mobil ontang-anting yang sudah disediakan pihak management untuk sampai di gerbang kawah. Sekeliling Kawah dikelilingi hutan cantigi. Disini juga banyak jajanan dan harganyapun murah meriah. Cocok untuk tujuan wisata keluarga. Setelah dari kawah Putih, kamipun melanjutkan perjalan ke daerah perkebunan teh di Rancabi Ciwidey.


Very like this view because ……

dikelilingi perbukitan yang hijau dengan dengan keindahan mozaiknya. Bener-bener fresh banget. Buat kalian yang pengen nikmatin udara pegunungan dengan hamparan kebun teh yang hijau, Rancabali Ciwidey, bisa jadi pilihan.

Sedikit banget reviewnya. Overall, Bandung selalu punya hal menarik untuk dikunjungi. Bandung selalu punya cerita tersendiri.

Hoaaa…. kangen bandung lagi.

when i can see you again, Bandung ?

I Hope, whenever ! 

—-
————————
Mohon maaf apabila ada salah-salah kata, ataupun Salah penilaian. karena catatan ini hanya berdasarkan penilaian saya pribadi.
———————–
—–



@shintadutulity
#Bandungdimataku