|
Bagiku, yang terpenting dari sebuah perjalanan bukan tentang secepat apa kita sampai. Tapi, seberapa banyak pelajaran dan tentunya dimana kita pada akhirnya ‘sampai’. ditujuan itu atau mungkin berputar arah sebelum sampai pada tujuan itu sendiri. |
|
|
Sudah lama, begitu lama dan begitu banyak rencana perjalanan yang hanya cukup berakhir sebagai wacana. Tak pernah jadi nyata, muluknya sampai bisa mejeng di rekaman memory. Tapi, entah kemarin itu faktor lucky atau memang sudah waktunya kaki ini menginjak satu destinasi yang dulu hanya mampir di alam mimpi.
Perjalanan ini bermula dari rasa jenuh yang tak kunjung mereda, malah makin terasa sampai sesak di dada, lagi dan lagi. Awalnya sempat kuberi nama perjalanan ini sebagai “pelarian”, Namun pantaskah disebut pelarian jika pada akhirnya aku ingin menjadikan pelarian itu tempat pulang? Skip for this statement.
Bisa dibilang, perjalanan ke Dieng adalah sebuah perjalanan yang tak disengaja. Karena awalnya aku lebih memilih mengunjungi Malang daripada Dieng karena penasaran dengan kampung wisata disana. Sebenernya ini merupakan aksi nekat juga
sih, karena awalnya aku ingin
solo backpacker. Tapi, saat aku cek tiket kereta Malang untuk keberangkatan 11 Agustus 2017, kemarin, ternyata sudah
sold. Mungkin alam belum memberi restu perempuan yang hanya modal nekat ini sok-sokan solo backpack.
Nah, karena aksi nekat solo backpacker gak bertahan lama, akhirnya aku mengajak satu partner buat
nemenin lari dari Jakarta sejenak. Dia adalah Rizka Wulandari, founder
hijabransel.com. Bermula dengan ajakan singkat di
whatsapp.
“Ceu.. Liburan yuk!”
“Yuk, Kemana?”
“Jogja.”
|
Ketika aku butuh piknik, layar laptop semua terlihat seperti ini ;p |
Awalnya, aku memilih Jogja sebagai destinasi cadangan setelah Malang. Namun, emang belum jodohnya buat kesana, setelah menemukan kawanpun, ternyata harga tiket gak sesuai budget banget. Jogja? lewat. Ngobrol ngalor ngidul, dan tiba-tiba tercetuslah destinasi final yaitu ‘Sunrise di Sikunir, Dieng Wonosobo’.
Dari mulai pemesanan tiket kereta, jadwal yang cocok, dan teman yang siap sedia mengantar, cukup membuat matang perjalanan kali ini.
Menuju Dieng dengan berteman Kabut dan Gerimis
“Berapa jam lagi sampai Dieng?” Tanyaku di alun-alun Barjarnegara sambil menikmati teh hangat warung kaki lima.
“Target jam 8 sampe”.
“Tapi tau jalankan, Ri?” Aku bertanya entah keberapa kalinya. Selain karena ini perjalanan malam, aku ingin memastikan temanku benar-benar ‘sadar’ dengan keadaan jalan di malam hari.
“Shin.. buka maps, bisik salah”. (bisik salah=takut salah bhs.sunda)
Untungnya sekalipun di daerah perbukitan, signal XL tetep konsisten. Dengan berbekal maps di tangan, kamipun melajukan motor kami membelah jalanan Barjarnegara menuju Dieng.
Pelan tapi pasti, langit mulai menampakan awan hitam bertanda akan turun hujan. Semakin malam, udara dingin semakin menembus pori-pori. Tepat pukul 19.00, perjalanan kamipun ditemani gerimis yang kian membesar.
“Lanjut, kuatkan?”
“Kuat”.
Dan akhirnya, kami mengabaikan gerimis yang pelan-pelan menjadi hujan. Memasuki daerah Wonosobo hujan reda, berganti dengan kabut pekat yang menghalangi pandangan. Jarak pandangan hanya sepelemparan batu. Belum lagi sepanjang jalan yang kami tempuh sangat-sangat minim penerangan. Semakin ke atas, semakin dingin, aku mulai merasa menggigil. Jalanan yang lengang tidak membuat kita memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sadar rute disini sangat berbahaya, selain jalanan berkelok, naik dan turun, minim penerangan juga kabut yang semakin pekat, membuat kami hanya mengandalkan penerangan dari lampu motor.
“ternyata purwokerto-Dieng itu jauh”. Batinku yang mulai merasakan pegal.
Rizka dan Ino terus mengekor di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan agar tetap fokus dengan situasi jalan. Yang jelas aku sudah sangat-sangat mengantuk.
Selain karena hawa dingin yang sudah mulai masuk ke pori-pori dan daya ‘melek’ mata yang tinggal bersisa beberapa watt karena selama diperjalanan Jakarta-Purwokerto aku hanya bisa tidur 2 jam, alhasil saat menuju dieng dengan cuaca mendukung buat tidur bener-bener membuatku pengen cepet-cepet berselimut manja di guest house.
Karena telat turun dari Curug Jenggala, membuat kami harus menempuh perjalanan malam menuju Guest House terdekat dengan Sikunir. Ya, sesampaikannya di Purwokerto pagi tadi, aku dan Rizka diboyong untuk menikmati pesono Curug Jenggala. Merasa dinina bobokan dengan suara alam ketika air jatuh ke permukaan bumi, kami baru meninggalkan lokasi Curug Jenggala selepas ashar.
Setelah melewati gelap dan gelap, bahkan hanya beberapa kendaran saja yang lewat, atau kadang tersisa hanya dua motor kami yang terus melaju menembus malam yang semakin naik keperaduan.
Segala macam lagu sudah aku nyanyikan, selain agar tetap terjaga, lumayan juga buat hiburan. Dari mulai lagu barat tahun 90’an, lagu pop indo tahun 90’an, lagu sunda, lagu dangdut, sampai keroncong, turut serta mewarnai perjalanan kali ini. Sekalipun suaraku semakin gak karuan, yang penting intinya jangan diem. Tak apalah, kerjaku selama perjalanan hanya bernyanyi, itung-itung timbal balik dengan temenku yang bersedia mengantarku.
Akhirnya, lampu-lampu rumah warga mulai tertangkap mata. Sebentar lagi memasuki kawasan rumah warga. Sesampainya disana, ku tengok kanan-dan kiri mencari penginapan yang kira-kira cocok di kantong. Satu kali turun, nego, dan gagal, beranjak lagi ke lokasi kedua. Alhamdulillah, harganya lumayan oke. Akhirnya kami sepakat bermalam disini. Cukup murah, untuk dua kamar tidur seharga 250rb.
Sungguh lelah hari ini, membuat kami menarik selimut lebih cepat. Siapkan stamina buat besok menuju Golden Sunrise Sikunir.
Ketika Semua diluar prediksi
Rencana tinggalah rencana, kalo ternyata drama lebih banyak mengambil makna, maka kita harus menjadi pemain yang tetap harus menikmati segala perannya.
“Pak, sekang kene teng sikunir pirang menit?”
“15 menit”.
Kami sudah terbangun dari jam 4 subuh. Siap-siap segala perlengkapan untuk menuju Sikunir. Selesai sekitar 4.30, Harry dan Ino dengan sigap memanaskan motor. Sengaja berangkat lebih awal, takut-takut dengan segala kemungkinan terjadi, kita tak pernah tau apa yang akan terjadi sebelum benar-benar terjadi
“Kita subuhan di sana?” Tanyaku sambil menenteng ransel yang berisi air minum, alat sholat, sarung tangan dan kain kemul takut-takut disana lebih dingin dari pada perjalanan tadi malam.
“Iya disana aja”.
Baru juga mau melangkahkan kaki, suara adzan di Masjid sebrang berkumandang nyaring. Akhirnya, kami memutuskan untuk lebih mendahulukan kewajiban kami sebagai muslim. Aku dan rizka masuk kembali ke penginapan, sementara kedua temanku (Ino dan Harry) berlalu ke Mesjid Sebrang.
Harry dan Ino baru kembali dari Masjid sekitar pukul 5.00 pagi. Aku dan Rizka sudah siap nangkring di jok motor. Lagi-lagi drama kedua muncul.
“Gaes.. perut gue melilit. Pengen toilet dulu”. Rizka lari terbirit-birit kembali masuk ke penginapan.
Tik tok tik tok. Detik berganti menit, jam di pergelangan tangan sudah menunjukan pukul 5.15.
Setelah rizka meminta maaf dengan dramanya, kamipun melaju dengan kecepatan yang lumayan demi mengejar sunrise di pukul 05.46.
Ku fikir, dramanya cukup sampai perut yang sembelit. Ternyata di tengah jalan, karena minim petunjuk arah, kamipun salah memilih arah menuju Sikunir. Ada sekitar 7 menit waktu terbuang sia-sia.
Waktu terus bergerak maju, semburat sinar merah keemasan mulai muncul dari ufuk timur menyibak gelapnya malam. Malam sudah berganti pagi, dan kami terpaksa menikmati sunrise di atas jok motor dengan harapan masih tersisa beberapa derajat sebelum benar-benar matahari naik.
Sikunir Golden Sunrise
|
Kau tahu apa hikmah dari menikmati sunrise sebegininya? Apalah bedanya dengan sunrise yang kita nikmati di balik jendela kamar? Yang aku tahu, sunrise yang didatangi dengan sebegininya adalah tanda wujud akan rasa syukur kita, karena Allah senantiasa memberi lembaran baru. Dan lembaran itu perlu dijemput dengan kerja keras, niat yang kuat agar lembarannya bisa terbuka dengan sempurna. Seperti runrise yang sempurna jika dinikmati di tempat yang tepat, disini. Bersama nyanyian alam, dan mata menerawang menangkap banyak ciptaan Sang Maha Besar. |
Ternyata, pesona Sikunir tak hilang meskipun matahari sudah seperempat naik. Sekalipun kami baru sampai puncak sikunir pukul 06:20, aku tetap bisa merekam sisa-sisa euphoria dan rasa syukur mereka disini.
Akhirnya, aku sampai disini. Mungkin dimata mereka, aku gagal menikmati sunrise. Tapi bagiku sendiri, aku tetap menang. Karena bagiku, kemenangan sebuah perjalana bukan tentang secepat apa kita sampai, tapi tentang dimana kita sampai dan bagaimana kita bisa sampai. Dan aku cukup bangga dan senang bisa berdiri disini. Karena ini adalah tujuan awal, tidak patah harap apalagi sampai berputar arah. Saat ini, Minggu, 13 Agustus 2017 bersama Rizka, Harry dan Ino, mengabadikan ciptaannya, mengkristalkan perjalanannya. Terimakasih.
Sekian cerita perjalanan menjemput Golden Sunrise Sikunir. Untuk review Sikunir Golden Sunrise yang lebih lengkap, insyaallah akan aku post nanti berikut tracking, tiket masuk, dan info-info lainnya.
Salam..
Bukan pemburu memory, hanya penikmat proses 🙂